Portal berita terkini yang menyajikan berita terbaru di Borneo maupun skala Nasional. Dapatkan update berita hari ini.

Demi Keluarga, Ayah Jadi Tersangka: Noodweer Excess atau Kriminal?

demi-keluarga-ayah-jadi-tersangka-noodweer-excess-atau-kriminal

Pada hari Senin, 1 Januari 2024, sekitar pukul 15.00 WIB, di Tambangan, Mijen, Semarang, telah terjadi tindak kekerasan dalam rumah tangga yang berujung pada kematian. Korban, seorang laki-laki berusia 22 tahun, pulang ke rumah dalam keadaan mabuk dan terlibat cekcok dengan adiknya di dapur, bahkan mengancam adiknya menggunakan pisau serta memukulnya dengan piring. Pelaku, yang merupakan ayah korban berusia 59 tahun, menyaksikan langsung kejadian tersebut saat sedang berada di dapur dan berusaha melerai serta melindungi anggota keluarga lainnya dari ancaman korban. Dalam upaya melerai, terjadi perkelahian antara pelaku dan korban, di mana pelaku memukul kepala dan tubuh korban menggunakan kayu. Setelah korban terjatuh, pelaku melanjutkan kekerasan dengan memukul kepala korban menggunakan dua buah batu hebel, menginjak perut, dan membenturkan kepala korban ke lantai, yang menyebabkan korban meninggal dunia di tempat kejadian. Berdasarkan pengakuan pelaku, tindakan tersebut dilakukan secara spontan dalam keadaan emosional dengan tujuan utama untuk melumpuhkan korban dan menyelamatkan anggota keluarga lain dari ancaman nyata, mengingat korban diketahui sering membuat onar, mabuk-mabukan, dan melakukan kekerasan terhadap keluarga sejak lama. Setelah kejadian, pelaku secara kooperatif melaporkan peristiwa tersebut kepada ketua RT dan RW, yang kemudian diteruskan ke pihak kepolisian. Fakta-fakta ini menunjukkan adanya unsur kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga yang mengakibatkan kematian, serta adanya latar belakang tindakan pelaku yang didasari oleh upaya perlindungan terhadap keluarga dari ancaman korban. 

Apakah tindakan pelaku dapat dikategorikan sebagai pembunuhan atau penganiayaan yang menyebabkan kematian (Pasal 351 KUHP)? Bagaimana pertimbangan hukum terkait niat pelaku yang mengaku bertindak untuk melindungi anggota keluarga lain? dan Apakah tindakan pelaku dapat dianggap sebagai pembelaan diri atau pembelaan terpaksa yang sah menurut hukum? Apakah penggunaan kekerasan yang berujung pada kematian korban proporsional dan sesuai dengan batas pembelaan diri? 

Pada dasarnya ada beberapa aturan hukum yang berlaku dalam kasus ini diantaranya Pasal 44 Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga Ayat (1) yang menyatakan “Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).” Dan Ayat (3) yang menyatakan “Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp 45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah).”

KUHP juga mengatur tentang penganiayaan sebagaimana di atur dalam Pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Ayat (1) yang menyatakan “Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”. Ayat (2) “Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.” Ayat (3) “Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun”. Namun berdasarkan asas hukum Lex Specialis Derogat Legi Generali yang artinya peraturan yang lebih khusus mengesampingkan peraturan yang lebih umum. Sehingga aturan yang lebih relevan dalam kasus ini adalah Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga dibandingkan KUHP karena kasus tersebut terjadi dalam lingkup rumah tangga serta telah diatur dalam Undang-Undang No. 33 Tahun 2004. 

Berdasarkan kronologi kasus, perbuatan pelaku secara langsung tidak dapat dikatakan bersalah melakukan tindakan pidana secara sah dikarenakan ada hal yang perlu dipertimbangkan. Dalam hukum pidana dikenal dengan hal-hal yang menghapuskan, mengurangi atau memberatkan pidana yang diatur dalam Pasal 44-Pasal 51 KUHP. Salah satu pasalnya adalah Pasal 49 Ayat (1) KUHP yang menyatakan “Tidak dipidana, barang siapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain, karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu yang melawan hukum.” Pasal 49 ayat (1) KUHP atau Pasal 34 RKUHP termasuk tindakan pembelaan terpaksa (noodweer) yang termasuk alasan pembenar. Alasan pembenar menghapuskan sifat melawan hukum perbuatannya, sehingga perbuatan yang dilakukan terdakwa menjadi patut dan benar. Sedangkan Pasal 49 ayat (2) KUHP dan Pasal 43 RKUHP tergolong pembelaan yang melampaui batas (noodweer excess) sebagai alasan pemaaf yang menghapuskan kesalahan terdakwa. Perbuatan terdakwa tetap bersifat melawan hukum dan tetap menjadi tindak pidana, namun tidak dipidana karena tidak ada kesalahan.2

Dalam konteks ini, konsep pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodweer excess) sebagaimana diatur dalam Pasal 49 ayat (2) KUHP menjadi relevan. Noodweer excess terjadi apabila pembelaan yang dilakukan melampaui batas karena adanya keguncangan jiwa yang hebat, seperti ketakutan, panik, atau emosi luar biasa akibat situasi yang dihadapi. Berdasarkan keterangan pelaku, ia mengaku emosional dan bertindak spontan untuk melumpuhkan korban demi keselamatan keluarga, yang dapat dikategorikan sebagai keguncangan jiwa. Oleh karena itu, meskipun perbuatan pelaku tetap bersifat melawan hukum, ia dapat dikecualikan dari pemidanaan karena tidak adanya kesalahan (schuld) akibat kondisi psikis tersebut.

Dalam kasus ini, perbuatan pelaku dapat dikatakan sebagai pembelaan yang melampaui batas (noodweer excess). Hal ini dikarenakan Perbuatan pelaku memenuhi unsur “Melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga”. Pasal 6 Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga Menyatakan “Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat”. Dan unsur “Mengakibatkan matinya korban” yang terbukti dengan fakta hukum. Namu nada beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk suatu tindak pidana dikatakan noodweer excess.

Mengutip R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta KomentarKomentar lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 64-65), yaitu:

  1. Perbuatan yang dilakukan itu harus terpaksa dilakukan untuk mempertahankan (membela). Pertahanan itu harus amat perlu, boleh dikatakan tidak ada jalan lain. Di sini harus ada keseimbangan yang tertentu antara pembelaan yang dilakukan dengan serangannya. Untuk membela kepentingan yang tidak berarti misalnya, orang tidak boleh membunuh atau melukai orang lain.
  2. Pembelaan atau pertahanan itu harus dilakukan hanya terhadap kepentingankepentingan yang disebut dalam pasal itu yaitu badan, kehormatan dan barang diri sendiri atau orang lain.
  3. Harus ada serangan yang melawan hak dan mengancam dengan sekonyong-konyong atau pada ketika itu juga. 

Pembelaan Terpaksa yang Melampui Batas (Noodweerexces) terletak pada syarat adanya “keguncangan jiwa yang hebat”, dalam bentuk kecemasan, perasaan cemas yang dirasakan secara teramat sangat (dahsyat), rasa takut, dan kemarahan hebat, yang berakibat terganggunya keadaan jiwa atau batin seseorang sehingga mengubah serangan tersebut menjadi pembelaan diri yang berlebihan. Hal tersebutlah yang menyebabkan batas-batas keperluan pembelaan dilampaui, walaupun serangan dari penyerang itu sendiri sebenarnya telah berakhir. Maka kondisi yang demikian, menjadi suatu alasan pemaaf yang menghapus elemen kesalahan (schuld), dari orang yang membela diri secara berlebihan tersebut. 

Secara hukum, tindakan pelaku memang memenuhi unsur tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga yang mengakibatkan kematian. Namun, jika dapat dibuktikan secara meyakinkan di persidangan bahwa pelaku bertindak dalam keadaan keguncangan jiwa yang hebat akibat ancaman nyata terhadap anggota keluarga, maka alasan pemaaf berupa noodweer excess dapat diterapkan. Konsekuensinya, pelaku dapat dibebaskan dari pidana (onslag van alle rechtsvervolging) karena perbuatannya dilakukan dalam pembelaan terpaksa yang melampaui batas akibat kondisi psikis yang tidak stabil pada saat kejadian. Namun, pembuktian unsur keguncangan jiwa yang hebat ini menjadi tanggung jawab pelaku dan penasehat hukumnya serta harus didukung oleh keterangan saksi dan/atau ahli. Jika unsur tersebut tidak terbukti, maka pelaku tetap dapat dimintai pertanggungjawaban pidana sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Pada intinya, status hukum pelaku sangat bergantung pada pembuktian kondisi psikis saat kejadian dan penerapan alasan pemaaf noodweer excess sesuai ketentuan hukum yang berlaku.

Oleh: Hanafirdana 

Paralegal LBH Pendampingan Perempuan dan Anak Bina Aisyah Kaltim

 

 

Tags : Samarinda opini Keluarga tulisan LPPA BINA AISYAH
Bagikan :

© PT Media Borneo Kekinian . All Rights Reserved. Design by HTML Codex