Setiap Tanggal 9 Desember, dunia memperingati Hari Anti Korupsi, sebuah momen penting yang mengingatkan urgensi transparansi dan integritas dalam setiap sektor, khususnya dalam pengelolaan sumber daya alam. Di Indonesia, sektor pertambangan menjadi salah satu sektor yang paling rentan terhadap praktik korupsi, meskipun memiliki kekayaan alam yang seharusnya dapat mendatangkan kemakmuran bagi seluruh masyarakat.
Menurut Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945, bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Ketentuan ini tidak hanya merupakan dasar hukum, tetapi juga panggilan moral bagi semua pihak untuk memastikan bahwa kekayaan alam Indonesia, yang melimpah ruah, dimanfaatkan dengan adil dan bijak demi kesejahteraan seluruh rakyat. Namun, kenyataannya, sektor pertambangan di Indonesia sering kali menjadi ajang bagi korupsi sistemik, yang merugikan negara dan masyarakat luas, sementara segelintir elit mengeruk keuntungan besar.
Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD mengungkapkan bahwa jika korupsi di sektor pertambangan bisa ditutup, setiap orang bisa mendapatkan uang senilai Rp 20 juta tanpa harus bekerja. Pernyataan ini merujuk pada perkataan mantan Ketua KPK, Abraham Samad, yang dalam diskusi dengan seorang ahli dari Amerika Serikat (AS) pada tahun 2013-2014 mengisahkan bagaimana celah-celah korupsi di sektor pertambangan dapat menyebabkan kerugian besar bagi negara. Angka tersebut tidak hanya menunjukkan kerugian finansial, tetapi juga ketidakadilan sosial yang semakin meluas, di mana rakyat yang seharusnya menikmati hasil kekayaan alam, justru menjadi korban dari penyalahgunaan wewenang oleh kelompok berkuasa.
Korupsi dalam sektor pertambangan tidak bisa dilihat hanya dari sudut pandang moral individual. Sebagai praktik ekonomi politik, korupsi ini melibatkan interaksi antara kelas-kelas berkuasa dengan negara untuk memanfaatkan akses ekonomi demi kepentingan pribadi. Dalam perspektif ini, korupsi tidak hanya sekedar penyalahgunaan kewenangan oleh pejabat, tetapi juga sebagai bentuk
penetrasi pasar global yang mengendalikan negara. Kelas penguasa memanfaatkan negara untuk mendorong deregulasasi dan memberi kemudahan akses bagi para pemodal dalam sektor tambang, yang sering kali mengorbankan kepentingan rakyat dan keberlanjutan ekosistem. Fenomena ini juga dikenal dengan istilah "perburuan rente", di mana para pelaku bisnis berusaha memanfaatkan kekosongan regulasi atau permainan politik untuk mendapatkan konsesi dan keuntungan besar. Sebagai contoh, permainan tender di sektor pertambangan sering kali dimenangkan oleh pihak yang memiliki koneksi politik dengan pejabat negara. Proses ini tidak hanya merugikan negara, tetapi juga menciptakan ketimpangan ekonomi yang semakin lebar, di mana kelas bawah semakin terpinggirkan sementara elit bisnis terus mengakumulasi kekayaan.
Dalam studi yang dilakukan oleh Oley & Adi (2018), mereka mengidentifikasi bahwa kegagalan pasar adalah salah satu faktor utama yang memicu korupsi di sektor pertambangan Indonesia. Fluktuasi harga komoditas tambang yang sangat dipengaruhi oleh pasar global, mendorong pemodal untuk menjalin hubungan dekat dengan pejabat negara guna memastikan mereka mendapatkan konsesi yang menguntungkan saat harga naik. Salah satu mekanisme yang digunakan adalah trade misinvoicing, di mana transaksi bisnis disembunyikan melalui pemalsuan nilai untuk menghindari pajak, yang merugikan negara hingga Rp 21,33 triliun pada tahun 2014
Tumpang tindih antara regulasi pemerintah pusat dan daerah juga mempermudah praktik korupsi. Berdasarkan temuan dari Ditjen Minerba pada tahun 2017, terdapat 2.198 izin tambang yang dinyatakan tidak clean & clear, yang menunjukkan adanya pengaturan yang tidak transparan dan membuka ruang bagi permainan politik dalam distribusi izin usaha pertambangan. Proses sertifikasi clean & clear yang seharusnya menjadi instrumen untuk memastikan transparansi, justru sering dimanfaatkan oleh pemodal untuk menyelamatkan izin usaha yangbermasalah.
Korupsi di sektor pertambangan membawa dampak yang sangat merugikan, baik secara finansial maupun lingkungan. Berdasarkan data dari Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), dari 23 kasus dugaan korupsi di sektor pertambangan antara 2014 hingga 2018, kerugian negara diperkirakan mencapai Rp 210 triliun. Salah satu contoh kasus yang mengemuka adalah korupsi di sektor tambang timah, di mana kerugian yang mencapai Rp 271 triliun berimbas pada kerusakan lingkungan yang parah, terutama di kawasan hutan Bangka Belitung.
Korupsi dalam pengelolaan pertambangan timah tidak hanya merugikan secara finansial, tetapi juga merusak keberlanjutan lingkungan hidup. Praktik pertambangan yang tidak bertanggung jawab menyebabkan kerusakan ekosistem yang sangat besar, seperti hilangnya hutan, pencemaran air, dan rusaknya keanekaragaman hayati. Menurut ahli lingkungan dari Institut Pertanian Bogor (IPB), kerugian yang ditimbulkan akibat kerusakan hutan dan kawasan konservasi akibat kegiatan pertambangan di Bangka Belitung diperkirakan mencapai lebih dari Rp 271 triliun. Kerusakan ini tidak hanya mencuri sumber daya alam yang seharusnya menjadi kekayaan bersama, tetapi juga mencuri hak hidup dan kesehatan masyarakat yang seharusnya dilindungi oleh negara.
Peringatan Hari Anti Korupsi ini harus menjadi titik tolak bagi upaya kita semua dalam memberantas praktik korupsi, terutama di sektor pertambangan. Upaya pemberantasan korupsi harus dilihat bukan hanya sebagai tugas KPK atau pemerintah, tetapi sebagai tanggung jawab bersama. Mandat Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945 jelas menyebutkan bahwa kekayaan alam harus digunakan untuk kemakmuran rakyat, bukan untuk menguntungkan segelintir orang yang memiliki kekuasaan. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memastikan bahwa korupsi sektor pertambangan tidak hanya dihentikan, tetapi juga ditindak dengan tegas agar sektor ini dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat
Syamsia Satra, S.P
Ketua Bidang Kebijakan Publik Kammi Kaltimtara
Jl. Merdeka 3 No. 23, Rt. 86, Kec. Sungai Pinang, Kota Samarinda, Kode Pos : 75117
0895340878244
mediaborneokekinian@gmail.com
© PT Media Borneo Kekinian . All Rights Reserved. Design by HTML Codex